Unsur – unsur kebudayaan menurut C Kluckhohn

Unsur-unsur kebudayaan menurut C Kluckhohn dalam bukunya  Universal Categories of Culture meliputi Cultural universals yaitu:

 

  • Peralatan dan perlengkapan hidup ( pakaian, perumahan, alat-alat produksi, transportasi)
  • Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, distribusi )
  • Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, perkawinan)
  • Bahasa (lisan maupun tertulis)
  • Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dll)
  • Sistem pengetahuan
  • Religi (system kepercayaan)

 Cultural universals tersebut dapat dijabarkan lagi kedalam unsure-unsur yang lebih kecil. Sebagai contoh cultural universals pencaharian hidup dan ekonomi antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, system produksi, dll. Kesenian misalnya meliputi kegiatan seni tari, seni rupa dll.

 Kluckhohn C, dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu pengantar, edisi ke-4, Rajawali Pers, 1990

 

Dalam sebuah kebudayaan banyak hal – hal yang mempengaruhi kualitas dan terbentuknya budaya tersebut. Suatu sebab terbentuknya budaya oleh manusia karena manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dan nafsu berupaya untuk memenuhi kebutuhan baik secara jasmani maupun secara spiritual yang berhubungan kepada Tuhan sang pencipta. Budaya tercipta oleh lingkungannya, bagaimana manusia menciptakan suatu kebiasaan yang sesuai dengan tempat dia berada.

            Kebudayaan terbentuk dari unsur – unsur yang mempengaruhinya untuk berkembang dalam lngkup batasan suatu kelompok itu beradan dan membedakan satu dengan yang lainnya.

            Unsur kebudayaan terbentuk dari apa yang ada dalam kehidupan sehari – hari, seperti pakaian dan rumah adat dari masing – masing daerah yang menunjukkan perbeadan setiap kelompok.

            Budaya dalam sistem ekonomi suatu kelompok tergantung oleh iklim, adaptasi lingkungan, dan sumber daya alam masing – masing daerah, misalnya di daerah agraris, secara tidak langsung pekerjaan mereka sebagai seorang petani, di daerah pantai, masyarakat akan memanfaatkan lahan yang ada yaitu sebagai nelayan, di tengah kota besar tentunya sama, tidak logis jika di kota besar yang padat industri modern kemudian penduduknya bertani.

            Suatu kebudayaan juga terbentuk dari tata krama, hukum dan sistem kekeluargaan yang dibentuk, pada suatu daerah menetapkan suatu aturan yang berlaku dan dikenal oleh suatu daerah atau kelompok

            Bahasa merupakan warisan nenek moyang yang penting dan menjadi dasar beromunikasi di dalam lingkungannya. Bahasa terbentuk secara lisan maupun tertulis, misalnya bahasa jawa, madura, sunda. Dalam bahasa jawa masih terbagi – bagi lagi untuk beberapa daerah. Kemudian bahasa secara tertulis seperti aksara jawa, tulisan yang digunakan sejak zaman dahulu sebagai tulisan sehari – hari.

            Manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas ingin selalu menciptakan hal – hal yang baru untuk memenuhi hasratnya manusia tidak akan berhenti dalam mencari ilmu pengetahuan, entah dalam teknologi maupun seni. Hal ini salah satu karya dalam suatu kebudayaan dimana seni menjadi khas masing – masing kebudayaan. Misalnya seni tarian (tari piring, reog ponorogo), seni rupa (wayang kulit), alat musik (angklung) dan lainnya.

            Unsur yang paling penting lainnya adalah keberagaman suatu Agama, misalnya saja di indonesia ini masyarakatnya menganut berbagai macam Agama ( Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu) dan beberapa agama lain yang tidak diakui dalam undang – undang negara seperti konghuchu. Dalam kegiatan religius sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan secara spiritual antar agama yang satu dengan lainnya tidaklah sama, mereka menganut kepercayaan masing – masing, misalnya dalam kegiatan ibadah dan juga mempengaruhi dalam kehidupan masing masing penganut Agama karena masing – masing memiliki hukum Agama yang dipercaya.

Beberapa Langkah Dalam Penetapan Kepribadian (Prof.dr. Saruto Wirawan)

Dalam kehidupan manusia tentunya dia membawa dirinya sendiri dalam lingkungan sekitanya, belajar mengenal dirinya dan menilai orang lain. Tetapi tidak semudah itu untuk mengetahui dan membentuk sebuah kepribadian. Karena banyak orang yang dapat menilai orang lain tetapi dia tidak bisa menilai dirinya sendiri. Melihat hal seperti ini berarti kita kurang peka dan tidak mampu membawa diri kita menjadi diri sendiri atau istilah “be your self” yang mengarah kepada kebaikan. Membentuk karakter yang kuat yang mencerminkan sikap dan hati kita. Beberapa langkah yang harus di pahami dan si implementasikan oleh seseorang dalam hidup dan kehidupannya, yaitu :

  1. 1.      Langkah 1
    1. a.      Berusaha mengenal

Mengenal siapa aku? siapa kita? Setidaknya kita mengenal diri kita melalui nama kita. Nama kita yang biasa panggil orang-orang disekitar kita. Mengetahui dimana kita dan apa yang kita miliki. Membentuk karakter seperti apa yang kita inginkan.

  1. b.      Berusaha memahami

Menggali lebih dalam apa potensi dalam diri kita. Bagaimana kita mengetahui apa yang kita rasakan sendiri. Bagaimana kita membawa diri kita kepada orang lain.

  1. c.       Berusaha menyayangi

Menyayangi tidak hanya ditunjukkan kepada orang lain yang lebih muda atau saudara-saudara kita. Mulailah dari diri sendiri. Kemudian kita bisa menyayangi orang lain seperti kita mengerti orang lain saat kita menganggap diri kita berharga.

  1. d.      Berusaha mencintai

Sebagai makhluk yang memiliki rasa dan perasaan. Membuat kita sensitiv akan hal – hal yang menyentuh hati kita, membawa perasaan untuk saling menjaga, membuat orang lain merasa nyaman di dekat kita. Berusaha saling mencintai kepada diri kita sendiri. Sadar bahwa diri kitalah yang kita bawa untuk hidup dengan raga dan jiwa ini kita lengkap sebagai manusia sempurna.

 

  1. 2.      Langkah 2
    1. a.      Ada kemauaan untuk memiliki

Manusia tentunya mempunyai tujuan untuk hidup, karena dengan tujuan, langkah kedepan akan jelas, mau jadi apa? mau kemana?. Memiliki hasrat untuk memiliki adalah fitrah manusia, usaha untuk mencapai harapan itu menjadikan kita lebih hidup dan membentuk kepribadian yang kuat

  1. b.      Bertanggung jawab

Dalam hidup kita tentunya kita melalui beberapa tahapan dan entah dimana nanti kita berada, dalam lingkungan masyarakat, pekerjaan, kita memiliki beban, beban terhadap diri kita, beban terhadap orang lain. Kita harus mampu mempertanggungjawabkan semua yang kita lakukan menjadikan pribadi yang tegas dan mampu menyelesaikan masalah yang ada di depan.

  1. c.       Disiplin

Untuk meraih sukses kunci utama adalah disiplin, hanya saja disiplin sulit diterapkapkan dalam diri kita, apa yang kita rencanakan dalam kegiatan rutin selalu kacau, selalu menunda apa yang ada. Berusaha untuk tepat waktu dan teratur membiasakan diri untuk disiplin menjadi diri kita mudah untuk mengatur waktu.

  1. d.      Berwawasan ke depan

kita semua memiliki mimpi. Mimpi atau cita – cita merupakan langkah awal untuk kita tetap semangat dan berusaha keras. Tetapi semua itu tidak dapat terwujud dengan mudah. Kita perlu berada dalam proses belajar. Dalam prosesnya kita harus berpikir panjang dan berwawasan ke tujuan utama kita. Tidak hanya berpikir untuk hari ini tetapi berusahalah untuk seterusnya seakan kita hidup selamanya.

Dari semua hal tersebut kita mempunyai konsep masa depan harapan dan tujuan berupa :

–          Jangka pendek

Tujuan yang kita bangun dari setiap sub – sub rencana di lingkungan kita berada atau dalam jangka waktu yang pendek. Misalnya ketika kita lulus SMA kita ingin masuk perguruan tinggi, dapat beasiswa, berprestasi

–          Jangka panjang

Sebuah rencana yang memiliki proses panjang dan biasanya memerlukan usaha yang keras. Misalnya ingin lulus kuliah, nikah, dapat pekerjaan yang sesuai.

 

Identitas bangsa

–          Bendera merah putih

Bendera merupakan lambang dari suatu negara, dengan melihat bendera saja kitabisa mengenal sebuah negara, bendera membawa kepribadian bangsa, mempunyai arti dan bukan sekedar kain. Didalamnya diatur tentang aturan dan hukum yang berhubungan dengan bendera. Merah artinya berani, kita Indonesia berani untuk lebih, putih berati suci, suci dari apa yang membawa bangsa ini  menuju kehancuran

–          Bahasa nasional

Bahasa indonesia sebagai bahasa nasional, walaupun berbagai bahasa digunakan dalam keseharian karena beragamnya suku dan ras, tetapi pmersatu bangsa ni bahasa indonesia.

–          Lagu kebangsaan

Lagu kebangaan kita lagu Indonesia Raya dinyanyikan dari Sabang sampai Merauke. Sebagai doktrin yang merasuki jiwa kita dengan rasa nasionalisme yang tinggi membuat kita memiliki bangsa ini dengan bangga. Dalam lagu Indonesia Raya juga melambangkan dan memuji jiwa bangsa.

Have Fun ^^

MAKALAH ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR – MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA

MAKALAH

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

Tentang

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA


Disusun Oleh :

Ketua Kelompok            :

Margareta Ester      ( 102410101072 )

Anggota Kelompok        :

Angga Ari W.          ( 102410101070 )

Angga Riswanda     ( 102410101073 )

 Risha Prasetyo         ( 102410101076 )

 Nur Azizi H.             ( 102410101077 )

Ahmad Syafiq K.    ( 102410101086 )

Barik Maulana K.   ( 102410101107 )

Mochammad Faizal ( 102410101108 )

  Hamdan H.              ( 102410101119 )

 

Program Studi Sistem Informasi

UNIVERSITAS JEMBER

2010

bab i

pendahuluan

 

1.1              Latar Belakang

Pada hakekatnya manusia telah diberi anugrah oleh Allah SWT berupa akal dan nafsu, akal dan nafsu inilah yang mendorong manusia untuk menciptakan sesuatu yang dapat mewujudkan cita-cita atau penghargaannya. Dalam mewujudkan cita-cita tersebut manusia telah menciptakan sains, teknologi dan seni sebagai salah satu sarana sehingga sejak saat itu kehidupan manusia mulai berubah. Selain itu sains, teknologi, dan seni juga telah mempengaruhi peradapan manusia dalam kehidupannya terutama dalam bidang budaya.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan seni diharapkan dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap bidang-bidang lain, khususnya budaya yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Pemanfaatan kemajuan teknologi, dan seni secara baik haruslah diterapkan, sehingga dapat menjaga kelestarian budaya bangsa.

Manusia tidak dapat lepas dari kebudayaan, disebabkan kebudayaan merupakan cara beradaptasi manusia dengan lingkungannya yang merupakan warisan sosial. Dan kebudayaan itu sendiri bagi manusia berguna untuk mengatur hubungan antar manusia dan sebagai wadah masyarakat menuju taraf hidup tertentu yang lebih baik, manusiawi, dan berperi kemanusiaan.

1.2          Rumusan Masalah

  1. Apa pengertian dan fungsi kebudayaan ?
  2. Bagaimana jenis dan ragam kebudayaan di lingkungan masyarakat ?
    1. Bagaimana fungsi akal dan budi manusia dalam menanggapi pengembangan kebudayaan ?
    2. Bagaimana memperlakukan manusia melalui pemahaman terhadap konsep dasar budaya ?
    3. Jelaskan proses dan perubahan budaya !
    4. Jelaskan problematika sosial kebudayaan !

1.3          Tujuan dan manfaat

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi setiap orang untuk memahami segala aspek tentang kebudayaan seperti halnya : pengertian  kebudayaan, fungsi kebudayaan, jenis dan ragam kebudayaan, fungsi akal dan budi dalam pengembangan kebudayaan, proses dan perubahan kebudayaan, serta problematika sosial budaya.

Kita sebagai subyek yang berperan utama mempunyai peranan yang sangat penting dalam aspek sebagai pelaku budaya. Dengan kita menjaga kelestarian budaya maka kita dapat melestarikan kebiasaan-kebiasaan yang membentuk pribadi kita masing-masing. Budaya merupakan ciri khas dari suatu daerah yang menggambarkan hubungan kebersamaan atau panutan di antara masyarakat setempat.

Dari banyak ragam budaya yang ada masing-masing memiliki arti atau pengertian masing-masing dari budaya tersebut. Dan cara  melakukannya juga berbeda-beda, ini menunjukkan bahwa budaya merupakan cerminan dari diri seseorang.

Banyak manfaat yang kita peroleh dari kita mengikuti budaya, namun bukan budaya yang menyimpang. Melainkan, budaya yang sudah kita tekuni mulai dari kita lahir yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat setempat. Kebersamaan, gotong royong, kekeluargaan dan hubungan timbal balik lainnya.

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1     Pengertian dan Fungsi Kebudayaan

2.1.1             Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan adalah salah satu istilah teoritis dalam ilmu-ilmu sosial. Secara umum, kebudayaan diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang secara sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Makna ini kontras dengan pengertian kebudayaan sehari-hari yang hanya merujuk pada bagian tertentu warisan sosial, yakni tradisi sopan santun dan kesenian. Istilah kebudayaan ini berasal dari bahasa latin Cultura dari kata dasar colere yang berarti berkembang atau tumbuh.

Dalam ilmu-ilmu sosial istilah kebudayaan sesungguhnya memiliki makna bervariasi yang sebagian diantaranya bersumber dari keragaman model yang mencoba menjelaskan hubungan antara individu, masyarakat, dan kebudayaan.

Setiap individu menjalankan kegiatan dan menganut keyakinannya sesuai dengan warisan sosial atau kebudayaannya. Hal ini bukan semata-mata karena adanya sanksi tersebut, atau karena mereka merasa menemukan unsur-unsur motivasional dan emosional yang memuaskan dengan menekuni kegiatan-kegiatan dan keyakinan cultural tersebut.

Dalam rumusan ini , istilah warisan sosial disamakan dengan istilah kebudayaan. Lebih jauh, model tersebut menyatakan bahwa kebudayaan atau warisan sosial lebih adaptif baik secara sosial maupun individual, mudah dipelajari, mampu bertahan dalam waktu lama, normative dan mampu menimbulkan motivasi. Namun tinjauan empiris terhadapnya memunculkan definisi terbaru tentang kebudayaan seperti yang diberikan  EB Taylor[1],  “Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adab, serta kemampuan dan kebisaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”

Kebanyakan ilmuwan sosial membatasi definisi kebudayaan sehingga hanya mencakup aspek tertentu dari warisan sosial. Biasanya pengertian kebudayaan dibatasi pada warisan sosial yang bersifat mental atau non fisik. Sedangkan aspek fisik dan artefak sengaja disisihkan. Hanya saja definisi yang terlanjur berkembang adalah definisi sebelumnya dimana kebudayaan diartikan bukan sekedar istilah deskriptif bagi sekumpulan gagasan, tindakan dan obyek, melainkan juga merujuk pada entitas-entitas mentalyang menjadi pijakan tindakan dan munculnya obyek tertentu.

Consensus yang kini dianut oleh para ilmuwan sosial masih menyisihkan aspek emosional dan motivasional dari istilah kebudayaan, dan mereka tetap terfokus maknanya sebagai himpunan pengetahuan, pemahaman atau proposisi. Namun mereka mengakui bahwa, sebagian proposisikultural membangkitkan emosi dan motivasi yang kuat. Dalam kasus ini proposisi tersebut dikatakan telah terinternalisasi.[2]

Sebagian ilmuwan sosial bahkan berusaha membatasi lagi pengertian istilah kebudayaan tersebut hingga hanya “mencakup bagian-bagian warisan sosial yang melibatkan representasi atas hal-hal yang dianggap penting, tidak termasuk norma-norma atau pengethauan procedural mengenai bagaimana sesuatu harus dikerjakan” (Schneider, 1968)[3] Sementara itu ada pula yang membatasi pegertian kebudayaan sebagai makna-makna simbolik yang mengandung muatan representasi dan mengkomunikasikannya dengan peristiwa nyata. Geertz menggunakan makna ini secara eksklusif sehingga ia tidak saja mengesampingkan aspek-aspek afektif, motivasional, dan normative dari warisan sosial namun juga mempermasalahkan penerapan makna kebudayaan dalam individu. Menurutnya, “kebudayaan hanya berkaitan dengan makna-makna public yang terus berlaku meskipun berada diluar jangkauan pengetahuan individu ; contohnya mungkin adala lajabar yang dianggap selalu benar dan berlaku, meski sedikit saja orang yang menguasainya”.[4]

Perselisihan mengenai definisi kebudayaan itu mengandung argumen-argumen implisit tentang sebab-sebab atau asal mula warisan sosial. Misalnya saja ada kontroversi mengenai koheren atau tidaknya kebudayaan itu sehingga lebih lanjut kita dapat mempertanyakan sifat alamiahnya. Disisi lain para ilmuwan sosial memendang keragaman dan kontradiksi di seputar pengertian atau definisi kebudayaan itu sebagai sesuatu yang wajar. Meskipun hamper setiap elemen kebudayaan dapat ditemukan pada hubungan-hubungan natar elemen seperti yang ditunjukkan oleh Malinowski dalam Argonauts of the Western Pacifis (1922)[5]. Tidak banyak bukti yang mendukung dugaan akan adanya pola tunggal hubungan tersebut seperti yang dikemukakan oleh Ruth Benedict dalam bukunya Pattern of Culture (1934)[6].

Berbagai persoalan yang melingkupi upaya intergrasi definisi-definisi kebudayaan terkait dengan masalah lain, yakni apakan kebudayaan itu merupakan suatu entitas padu atau tidak. Jika kebudayaan dipandang sebagai suatu kumpulan elemen yang tidak memebentuk kesatuan koheren, maka yang harus diperhitungkan  adalah fakta bahwa warisan sosial senantiasa melebur dalam suatu masyarakat. Sebaliknya jika kita menganggap kebudayaan itu sebagai suatu kesatuan koheren, maka kumpulan elemen-elemennya bisa dipisahkan dan dibedakan satu sama lain.[7]

Kerancuan tersebut lebih jauh membangkitkan minat untuk menelaah koherensi dan integrasi kebudayaan, mengingat dalam kenyataannya pengetahuan anggota masyarakattentang kebudayaan mereka tidaklah sama. Hanya saja tidak ada metodeyang telah terbukti handal untuk mengukur sejauh mana koherensi dan integrasi sebuah kebudayaan. Bahkan muncul bukti-bukti yang menunjukkan bahwa elemen-elemen budaya cenderung dapat digolongkan menjadi dua bagian besar. Pertama adalah sejumlah kecil elemen yang hampir dipunyai oleh semua anggota masyarakat sehingga diantara mereka dapat tercipta suatu hubungan yang saling  pengertian. (misalnya lampu merah berarti tanda berhenti), sedangkan yang kedua adalah elemen-elemenkultural yang hanya diketahui oleh sebagian anggota masyarakat yang menyandang status sosial tertentu.(misalnya, pelanggaran ketentuan kontrak tidak bisa diterima)[8]

Dibalik kerancuan definisi ini terdapat masalah-masalah penting lainnya yang juga harus dipecahkan. Keragaman definisi kebudayaan itu sendiri dapat dipahami sebagai giatnya upaya mengungkap hubungan kausalitas antara berbagai elemen warisan sosial. Sebagai contoh , dibalik pembatasan definisi kebudayaan pada aspek-aspek presentasional dari warisan sosial itu terletak hipotesis yang menyatakan bahwa norma-norma, reaksi emosional, motivasi dan sebagainya sangat ditentukan oleh kesepakatan awal tentang keberadaan, hakekat dan label atas sesuatu hal. Misalnya saja norma kebersamaan dan perasaan terikat dalam kekerabatan hanya akan tercipta jika ada system kategori yang membedakan kerabat dan non kerabat. Demikian pula definisi cultural kerabat sebagai ‘orang-orang yang memiliki hubungan darah’ mengisyaraktkan adanya kesamaan identitas yang memudahkan pembedaannya. Jika representasi cultural memang memiliki hubugan kausalitas dengan norma-norma, sentiment dan motif, maka pendefinisian kebudayaan sebagai representasi telah memusatkan perhatioan pada apa yang paling penting. Hanya saja keuntungan dari focus yang tajam itu dipunahkan oleh ketergantungan definisi itu terhadap asumsi-asumsi yang melandasinya, yang acap kali kelewat sederhana.[9]

Komponen utama kebudayaan :

  • Individu
  • Masyarakat
  • alam

Dari catatan Supartono, 1992, terdapat 170 definisi kebudayaan. Catatan terakhir Rafael Raga Manan ada 300 buah, beberapa diantaranya :

  • Ki Hajar Dewantara

Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

  • Robert H Lowie

   Kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal

  • Keesing

   Kebudayaan adalah totalitas pengetahuan manusia, pengalaman yang terakumulasi dan yang ditransmisikan secara sosial

  • Koentjaraningrat

   Kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi pekertinya

  • Rafael Raga Manan

   Kebudayaan adalah cara khas manusia beradaptasi dengan lingkungannya, yakni cara manusia membangun alam guna memenuhi keinginan-keinginan serta tujuan hidupnya, yang dilihat sebagai proses humanisasi.

  • Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi[10]

Kebudayaan merupakan hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah.

2.1.2             Fungsi kebudayaan

Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggota-anggotanya seperti kekuatan alam, maupun yang bersumber dari persaingan manusia itu sendiri untuk mempertahankan kehidupannya. Manusia dan masyarakat memerlukan pula kepuasan baik dibidang materiil maupun spiritual. Kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas, untuk sebagian besar dipenuhi oelh kebudayaan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Hasil karya masyarakat menghasikan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama melindungi masyarakat terhadap lingkungan. Pada masyarakat yang taraf  kebudayaannya lebih tinggi, teknologi memungkinkan  untuk pemanfaatan hasil alam bahkan munghkin untuk menguasai alam. Di sisi lain karsa masyarakat mewujudkan norma dan nilai-nilai sosial yang sangat perlu untuk mengadakan tata tertib dalam pergaulan masyarakatnya.

Kebudayaan berguna bagi manusia untuk melindungi diriterhadap alam, mengatur hubungan antar manusia, dan sebagai wadah dari segenap perasaan manusia. Kebudayaan akan mendasari, mendukung, dan mengisi masyarakat dengan nilai-nilai hidup untuk dapat bertahan, menggerakkan serta membawa masyarakat kepada taraf hidup tertentu yaitu hidup yang lebih baik, manusiawi, dan berperi-kemanusiaan.

2.2  Jenis dan Ragam Kebudayaan di Masyarakat

Mohammad Yusuf Melatoa dalam Ensiklopedia Suku Bangsa Di Indonesia menyatakan Indonesia terdiri dari 500 etnis suku bangsa yang tinggal di lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil. Mereka masing-masing memiliki kebudayaan yang berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan itu dalam kita lihat dengan menelaah unsur-unsur kebudayaan seperti dibawah ini.

Unsur-unsur kebudayaan menurut C Kluckhohn dalam bukunya  Universal Categories of Culture meliputi Cultural universals yaitu [11]:

q  Peralatan dan perlengkapan hidup ( pakaian, perumahan, alat-alat produksi, transportasi)

q  Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, distribusi )

q  Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, perkawinan)

q  Bahasa (lisan maupun tertulis)

q  Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dll)

q  Sistem pengetahuan

q  Religi (system kepercayaan)

Cultural universals tersebut dapat dijabarkan lagi kedalam unsure-unsur yang lebih kecil. Ralph Linton menyebutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan atau cultural activity.[12] Sebagao contoh cultural universals pencaharian hidup dan ekonomi antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, system produksi, dll. Kesenian misalnya meliputi kegiatan seni tari, seni rupa dll. Selanjutnya Ralph Linton merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsure-unsur yang lebih kecil lagi yang disebutnya trait-complex. Misalnya kegiatan pertanian menetap meliputi unsure-unsur irigasi, sistem pengolahan tanah dengan bajak, system hak milik atas tanah, dan sebagainya. Selanjutnya trait complex mengolah tanah dengan bajak akan dapat dipecah ke dalam unsure yang lebih kecil umpamanya hewan-hewan yang menarik bajak, teknik pengendalian bajak, dan sebagainya.

Akhirnya sebagai unsur kebudayaan yang terkecil membentuk trait adalah items. Bila diambil contoh alat bajak terdiri dari gabungan alat-alat yang lebih kecil yang dapat dilepaskan, tetapi pada hakekatnya merupakan satu kesatuan. Apabila salah satu bagian bajak tersebut dihilangkan, maka tak dapat menjalankan fungsinya sebagai bajak.

Ciri Kebudayaan :

  • Bersifat menyeluruh
  • Berkembang dalam ruang / bidang geografis tertentu
  • Berpusat pada perwujudan nilai-nilai tertentu

Wujud kebudayaan

  • Ide : tingkah laku dalam tata hidup
  • Produk : sebagai ekspresi pribadi
  • Sarana hidup
  • Nilai dalam bentuk lahir

Sifat kebudayaan

  • Beraneka ragam
  • Diteruskan dan diajarkan
  • Dapat dijabarkan :

– Biologi

– Psikologi

– Sosiologi : manusia sebagai pembentuk kebudayaan

  • Berstruktur terbagi atas item-item
  • Mempunyai nilai
  • Statis dan dinamis
  • Terbagi pada bidang dan aspek

2.3 Fungsi Akal Dan Budi Manusia Dalam Pengembangan Budaya

Akal adalah kemampuan pikir manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki manusia. Berpikir adalah perbuatan operasional yang mendorong untuk aktif berbuat demi kepentingan dan peningkatan hidup manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa fungsi akal adalah untuk berfikir. Kemampuan berfikir manusia mempunyai fungsi mengingat kembali apa yang telah diketahui sebagai tugas dasarnya untuk memecahkan masalah dan akhirnya membentuk tingkah laku.

Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan. Budi diartikan sebagai batin manusia, panduan akal dan perasaan yang dapat menimbang baik buruk segala sesuatu.

Jadi jelas bahwa fungsi akal dan budi manusia adalah menunjukkan martabat manusia dan kemanusiaan sebagai pemegang amanah makhluk tertinggi di alam raya ini.

Kegiatan-kegiatan yang dipelajari itu merupakan salah satu bagian dari kebudayaan masyarakat secara keseluruhan. Didalamnya juga termasuk artefak dan berbagai kontruksi proporsi kompleks yang terekspresikan dalam system symbol yang kemudian terhimpun dalam bahasa. Melalui symbol-simbol itulah tercipta keragaman entitas yang sangat kaya yang kemudian disebut sebagai obyek konstruksi cultural sepoerti uang, system kenegaran, pernikahan, permainan, hukum, dan sebagainya, yang keberadaannya sangat ditentukan oleh kepatuhan terhadap system aturan yang membentuknya. System gagasan dan simbolik warisan sosial itu sangatlah penting karena kegiatan-kegiatan adaptif manusia sedemikian kompleks dan beragam sehingga mereka tidak bisa mempelajari semuanya sendiri sejak awal. Serta manusia juga memiliki kemampuan daya sebagai berikut :

  • Akal, intelegensia dan intuisi

Dengan kadar intelegensia yang dimiliki manusia mampu belajar sehingga menjadi cerdas, memiliki pengetahuan dan mampu menciptakan teknologi. Intuisi menurut Supartono sering setengah disadari, tanpa diikuti proses berfikir cermat, namun bisa menuntun pada suatu keyakinan.

  • Perasaan dan emosi

Perasaan adalah kemampuan psikis yang dimiliki seseorang, baik yang berasal dari rangsangan di dalam atau diluar dirinya. Emosi adalah rasa hati, sering berbentuk perasaan yang kuat, yang dapat menguasai seseorang, tetapi tidak berlangsung lama

  • Kemauan

Kemauan adalah keinginan, kehendak untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Kemauan dalam arti positif adalah dorongan kehendak yang terarah pada tujuan hidup yang dikendalikan oleh akal budi.

  • Fantasi

Fantasi adalah paduan unsur pemikiran dan perasaan yang ada pada manusia untuk menciptakan kreasi baru yang dapat dinikmati.

  • Perilaku

Perilaku adalah tabiat atau kelakuan, merupakan jati diri seseorang yang berasal dari lahir sebagai factor keturunan yang kemudian diwarnai oleh factor lingkungannya.

Ada hubungan dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia sendiri adalah produk kebudayaan. Peter L Berger menyebutnya sebagai dialektika fundamental yang terdiri dari tiga tahap yaitu :

  • Tahap eksternalisasi, yaitu proses pencurahan diri manusia secara terus menerus kedalam dunia melalui aktifitas fisik dan mental
  • Tahap obyektifitas, yaitu tahap aktifitas manusia menghasilkan realita obyektif, yang berada diluar diri manusia
  • Tahap internalisasi, yaitu tahap dimana realitas obyektif hasil ciptaan manusia dicerap oleh manusia kembali.

Manusia sebagai makhluk budaya adalah pencipta kebudayaan. Kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia didunia.

2.4  Memperlakukan manusia melalui pemahaman terhadap konsep budaya dasar

Berbagai cara untuk memanusiakan manusia :

2.4.1.1           Keadilan

Keadilan adalah salah satu moral dasar bagi kehidupan manusia. Keadilan mengacui pada suatu tindakan baik yang mesti dilakukan oleh setiap manusia.

2.4.1.2           Penderitaan

Penderitaan adalah teman paling setia kemanusiaan. Ini melengkapi cirri paradoksal yang menandai eksistensi manusia didunia.

2.4.1.3           Cintakasih

Cintakasih adalah perasaan suka kepada seseorang yang disertai belas kasihan. Cinta merupakan sikap dasar ideal yang memungkinkan dimensi sosial manusi menemukan bentuknya yang khas manusiawi

2.4.1.4           Tanggungjawab

Tanggungjawab adalah kwajiban melakukan tugas tertentu yang dasarnya adalah hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk yang mau menjadi baik dan memperoleh kebahagiaan.

2.4.1.5           Pengabdian

Pengabdian diartikan sebagai perihal memperhamba diri kepada tugas-tugas yang dianggap mulia

2.4.1.6           Pandangan hidup

Pandangan hidup berkenaan dengan eksistensi manusia didunia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesame dan dengan alam tempat kita berdiam.

2.4.1.7           Keindahan

Eksistensi manusia didunia diliputi dan digairahkan oleh keindahan. Manusia tidak hanya penerima pasif tetapi juga pencipta keindahan bagi kehidupan.

2.4.1.8           Kegelisahan

Kegelisahan merupakan gambaran keadaan seseorang yang tidak tenteram hati maupun perbuatannya, merasa khawatir tidak tenang dalam tingkah laku, dan merupakan salah satu ekspresi kecemasan.

2.5  Proses dan Perubahan Kebudayaan

Proses pembudayaan adalah tindakan yang menimbulkan dan menjadikan sesuatu lebih bermakna untuk kemanusiaan. Proses tersebut diantaranya :

  1. a.      Internalisasi

                  Merupakan proses pencerapan realitas obyektif dalam kehidupan manusia.

  1. b.      Sosialisasi

                  Proses interaksi terus menerus yang memungkinkan manusia memperoleh identitas diri serta ketrampilan-ketrampiulan sosial. Dalam keseharian sosialisasi bisa dikatakan sebagai proses menjelaskan sesuatu kepada anggota masyarakat agar mengetahui adanya suatu konsep, kebijakan, suatu peraturan yang menyangkut hak dan kwajiban mereka.

  1. c.       Enkulturasi

                   Enkulturasi adalah pencemplungan seseorang kedalam suatu lingkungan kebudayaan, dimana desain khusus untuk kehidupan kelihatan sebagai sesuatu yang alamiah belaka.

  1. d.      Difusi

                   Meleburnya suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain sehingga menjadi satu kebudayaan.

  1. e.       Akulturasi

                   Akulturasi adalah percampuran dua atau lebih kebudayaan yang dalam percampuran itu masing-masing unsurnya masih kelihatan.

  1. f.        Asimilasi

Asimilasi adalah proses peleburan dari kebudayaan satu ke kebudayaan lain.

 

Perubahan sosial dan kebudayaan  merupakan segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suataau masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami perubahan, perubahan bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi orang luar yang menelaahnya, dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak menarik dalam arti kurang mencolok. Ada pula perubahan-perubahan yang pengaruhnya terbatas maupun luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang lambat sekali, akan tetapi ada juga yang cepat.

Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, pola-pola perilaku, organisasi, susunan, lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan seterusnya. Dengan diakuinya dinamika sebagai inti jiwa masyarakat, maka banyak sarjana sosiologi modern yang mencurahkan perhatiannya pada masalah-masalah perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat. Masalah tersebut menjadi lebih penting dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi yang diusahakan oleh banyak masyarakat dari Negara yang kemerdekaan politiknya setelah perang dunia kedua.

Faktor-faktor penyebab perubahan sosial dan kebudayaan

a. faktor intern

¯  Bertambah atau berkurangnya penduduk

¯  Penemuan-penemuan baru (inovation – discoveri [gagasan] – invention [diterapkan dalam masyarakat]

¯  Pertentangan-pertentangan dalam masyarakat (konflik)

¯  Pemberontakan / revolusi

b. faktor ekstern

¯  Perubahan lingkungan fisik manusia ( bencana alam )

¯  Pengaruh kebudayaan masyarakat lain

¯  Peperangan

 

Faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses perubahan sosial :

v   Faktor-faktor yang mendorong :

  • Kontak dengan kebudayaan lain
  • Sistem pendidikan yang maju
  • Sikap menghargai hasil karya orang lain dan keinginan untuk maju
  • Toleransi terhadap perbuatan menyimpang
  • Sistem lapisan masyarakat yang terbuka
  • Penduduk yang heterogen
  • Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu
  • Orientasi ke depan
  • Nilai meningkatkan taraf hidup

v   Faktor-faktor yang menghambat :

  • Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain
  • Perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat
  • Sikap masyarakat yang tradisional
    • Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat (vested Interest)
    • Rasa takut terjadinya kegoyahan dalam integrasi kebudayaan
    • Prasangka terhadap hal baru
    • Hambatan ideologis
    • Kebiasaan
    • Sikap pasrah

2.5  Problematika sosial kebudayaan

Manusia dan Budaya Unggul[13]

Buku Stephen R Covey berjudul The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness setidaknya menjadi pemicu diskusi tentang budaya unggul akhir-akhir ini. Para cerdik cendekia pun ribut mencari apa yang sebenarnya unggul dalam diri kita dan apa memang ada keunggulan itu. Tidak main-main, bahkan Bapak Presiden merasa perlu menyampaikan kepada rakyatnya untuk melahirkan budaya unggul dalam bangsa ini.

Dalam maksud yang sederhana, budaya unggul akan bisa memulihkan harga diri dan martabat bangsa ini menjadi bangsa yang tidak mudah dilecehkan dan diharapkan mampu mengatasi krisis berkepanjangan dan seterusnya. Jika budaya unggul bisa didiskusikan bersama seiring dengan manusia unggul, setidaknya apa yang dinyatakan oleh Covey sebagai manusia dengan predikat greatness membawa ingatan kita pada apa yang oleh filosof Jerman, Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), dinyatakan sebagai uebermensch yang dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai superman. Kebudayaan merupakan identitas dari manusia.

Untuk melahirkan budaya unggul, terlebih dahulu manusia harus bisa menjawab tantangan yang ada dalam dirinya sendiri. Manusia unggul tidak lahir dari situasi statis, melainkan dari proses dinamis. Tidak saja dalam pengertian bagaimana upaya menemukan talenta terbaik dalam diri seseorang, melainkan upaya untuk terus-menerus menjadi manusia yang lebih (over).

Dalam pengertian ini, Ignas Kleden (2004) menyatakan bahwa manusia hanya akan berhasil menjadi manusia melalui proses ueberwindung atau overcoming (dalam bahasa Inggris). Anjuran untuk berproses menjadi manusia unggul sudah dinyatakan dengan amat jelas dalam Also Sprach Zarathustra. Jelas sekali ketika Nietzsche menulis bahwa pertanyaan pertama dan satu-satunya yang dianjurkan oleh Zarathustra adalah Wie Wird der Mensch ueberwubden (bagaimana caranya manusia mengatasi manusia).

Pengertiannya, untuk lahir sebagai superman, manusia harus terus-menerus mengatasi dirinya sebagai manusia. Untuk menjadi manusia unggul, manusia harus bisa meningkatkan dirinya dari sekadar manusiawi (humanus) menjadi lebih manusiawi (humanior). Manusia unggul keluar dari proses dinamis dan penuh tantangan, manusia yang bisa menggunakan kehendak dan kuasanya untuk mengatasi rasa lemahnya. Nietzsche adalah filsuf yang begitu yakin bahwa manusia harus berdiri di atas sifat-sifat konkretnya.

Manusia bukanlah suatu konsep abstrak sebagaimana dipahami oleh kaum idealis atau juga kaum materialis. Keduanya sering melahirkan pandangan-pandangan dunia yang bersifat statis. Padahal, hidup dan kehidupan itu sendiri merupakan sesuatu yang dinamis dan bergerak terus-menerus. Bukankah Nietzsche sendiri menyatakan, man is something that is to be surpassed (Manusia adalah sesuatu yang harus dilampaui). Atau dengan yakin ia menyatakan, what is great in man is that he is a bridge and not a goal; what is lovable in man is that he is an over- going and down-going ( Apa yang agung dalam diri manusia adalah bahwa dia adalah jembatan dan bukan tujuan; apa yang patut dicinta dalam diri manusia adalah bahwa dia adalah perjalanan naik dan turun ).

Melahirkan manusia unggul jangan disalahpahami hanya dengan pengertian meloloskan siswa-siswa berprestasi yang mampu merengkuh juara olimpiade fisika, matematika, atau kimia. Menjadi manusia unggul biasa dialami oleh siapa saja yang mampu mengatasi kediriannya menuju kedirian yang lebih. Sifat serakah dan senang korupsi adalah manusiawi dan bahkan menjadi bagian tak terpisah dari manusia. Untuk lahir menjadi manusia unggul, seseorang harus bergerak untuk memperbarui kemanusiawiannya menjadi lebih manusiawi dengan menjelma menjadi manusia yang tidak serakah dan senang korupsi.

Seorang pejabat akan bernilai lebih jika setiap saat dia berhasil mengawasi dan menekan nafsu korupsinya. Dalam mengarungi bahtera kehidupan yang nyata itulah manusia diberi kuasa untuk memikul tanggung jawab atas dirinya sendiri. Dia harus menciptakan nilai-nilai untuk dirinya sendiri pada saat perjalanan kehidupan tersebut.

Di sini dapat dipahami mengapa Nietzsche amat membenci pada mereka yang mudah menyerahkan diri pada skema nilai-nilai yang diciptakan di luar dirinya sendiri. Nietzsche menyebut mereka sebagai “manusia bermoral gerombolan” atau “bermoral budak”. Mereka adalah para pengecut yang hanya bisa berlindung di balik nilai-nilai yang menjerat kedigdayaannya.

“The ignorant, to be sure, the people-they are like a river on which a boat floateth along; and in the boat sit the estimates of value, solemn and disguised”. Mereka seperti sebuah sungai yang di atasnya mengambang sebuah perahu; dan di dalam perahu itu duduk nilai yang dihargai, penuh kemeriahan dan samaran.

Manusia unggul, jika mau merujuk pada Nietzsche, bisa lahir dan dilahirkan dari manusia yang tak lagi menggantungkan diri segala tekanan dari luar. Dengan tidak memperpanjang segala kontroversi pendapat Nietzsche, budaya unggul dalam perspektif ini bisa dijadikan rujukan untuk mengembalikan jati diri dan martabat kebangsaan yang hancur di tengah keserakahan modal, penguasa, utang luar negeri, bahkan terorisme.

Komodifikasi kebudayaan

Ada kesan bahwa kebudayaan semakin mejadi komoditas. Kebudayaan seakan-akan diapropriasi oleh elite politik, elite intelektual, elite birokrat, elite system pendidikan atau elite budaya sendiri. Apropriasi itu berlangsung atas dua jalur. Pertama, terungkap dalam pembicaraan tentang kebudayaan masyarakat yang dikatakan tidak cocok untuk pembangunan. Menurut jalur ini budaya masyarakat perlu direkayasa supaya sesuai dengan pembangunan. Yang merekayasa adalah elite yang berbeda dari masyarakat yang menganggap dirinya sudah mempunyai budaya yang sesuai dengan pembangunan. Jalur itu juga melegitimasi penundaan proses demokratisasi : selama masyarakat masih memiliki mentalitas yang tidak cocok dengan pembangunan, ia belum dapat ikut dalam proses penentuan arah perjalanan bangsa Indonesia.

Kedua, berkebalikan dengan yang pertama, yaitu jalur keprihatinan terhadap budaya bangsa. Dia mendapat ekspresi dalam dua sub lagu yang bersama menghasilkan paduan suara atau duet harmoniselite yang prihatin. Sub lagu yang pertama disebut lagu museum ; unsure-unsur positif warisan budaya bangsa perlu dilestarikan. Disini termasuk pakaian nasional, tari-tarian, sopan santun ketimuran, kekeluargaan, gotong royong dan lain-lain. Dengan menetapkan apa yang termasuk budaya bangsa, elite menetapkan kelakuan masyarakat yang mana sesuai dan yang mana tidak sesuai.

Sub-lagu yang kedua mau melindungi budaya nasional terhadap pengeruh buruk dari luar. Elite yang menganggap diri berwenang untuk menetapkan sikap-sikap mana yang tidak sesuai dengan budaya bangsa. Disini kita mendengarkan bahwa bangsa Indonesia tidak mengenal oposisi, bahwa masyarakat kita bermusyawarah daripada memperjuangkan hak-haknya, tidak bersikap konfrontatif, bahwa bertindak berdasarkan keyakinan sendiri adalah individualisme, dan oleh karena itu asing.[14]

Hal-hal diatas secara tegas menyatakan bahwa demi budaya bangsa elitelah yang sebaiknya menentukan arah pembangunan.

Tantangan Kebudayaan

Masyarakat kita yang berbudaya akan beruntung apabila mengenal dan akrab dengan beberapa kebudayaan barat. Sama dengan orang barat yang mengenal dan mencintai kebudayaan-kebudayaan Timur. Pertemuan dengan kebudayaan lain selalu memperkaya kita sendiri. Mengagumi karya karya seni Italia, atau menelusuri filsafat Perancis bagi orang timur pasti sangat rewarding. Yang pasti menarik, pelancongan ke dalam kebudayaan lain tidak cenderung memiskinkan persepsi tentang kebudayaan sendiri, melainkan memperkaya.

Kebudayaan yang sungguh-sungguh mengancam kita adalah kebudayaan modern tiruan. Dia mengancam karena tidak sejati, tidak substansial, semu, dan ersatz. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia plastic, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia latah.[15]

Kebudayaan tiruan itu mempunyai daya tarik luarbiasa sehingga mampu menyedot pandangan kita tentang nilai, dasar harga diri, dan status. Ia menawarkan kemewahan, kepenuhan hidup, kemantapan diri, asal kita mau berpikir sendiri, dan berhenti membuat penilaian sendiri. Kebudayaan yang dikatakan modern itu membuat kita lepas dari kebudayaan tradisional kita sendiri, dan sekaligus tidak menyentuh kebudayaan teknologis modern yang sesungguhnya. Akhirnya kita hanya seolah-olah menjadi manusia modern.


BAB III

PENUTUP

 

3.1 Kesimpulan

   Kebudayaan adalah salah satu istilah teoritis dalam ilmu-ilmu sosial. Secara umum, kebudayaan diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang secara sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dari pembahasan diatas kami dapat simpulkan bahwa manusia berhubungan erat dengan kebudayaan yang ada pada lingkungan sekitarnya. Karena kebudayaan tersebut merupakan cara beradaptasi untuk mengatur hubungan antar manusia sebagai wadah masyarakat menuju taraf hidup tertentu.

   Kebudayaan berpengaruh dalam membentuk pribadi seseorang sehingga mengharuskan manusia untuk mengikuti norma-norma yang ada pada budaya tersebut.

Dengan demikian, budaya patokan cara hidup manusia di tempat dia berada. Selain itu dalam kebudayaan mengajarkan tentang keimanan

3.2 Saran

                      Kita sebagai mahluk berbudaya semestinya melestarikan budaya yang kita punya, jangan sampai budaya yang kita punya tidak kita lestarikan dan sampai punah. Karena siapa lagi jika bukan kita penerus bangsa yang melestarikan?

          Kita lestarikan baik-baik budaya yang telah kita punya agar tidak diakui oleh bangsa lain.

 


[1]              Taylor, E.B (1958/1871) Primitive Culture : Researches in the Development of Mythologi,  Religion, art and Custom, Gloucester, MA.

[2]               Spiro, M.E (1987) Culture and Human Nature, Chocago

[3]               Schneider, D. (1968) American Kinship : A Cultural Account, Englewood Cliffs, NJ.

[4]               Geertz, C. (1973) The Interpretation of Culture, New York.

[5]               Malinowski, B (1922) Argonouts of The western Pasific, London.

[6]               Benedict. R (1934) Pattern of Culture, Boston, MA.

[7]              D’Andrade, R, Culture dalam Jessica Kuper, & Adam Kuper,, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, 2000

[8]              Swartz, M. (1991) The Way The World is : Cultural Processes and Sosial Relations among the Mombassa Swahili, Berkeley, CA.

[9]               D’Andrade, R, Ibid

[10]             Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setagkai Bunga Sosiologi, edisi pertama, yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1964, hal 155

[11]             Kluckhohn C, dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu pengantar, edisi ke-4, Rajawali Pers, 1990

[12]             Linton, R, A Study of Man, an introduction, Appleton Century-Croft. Inc., New York, 1936, hal 397

[13]             Saiful Arif, Kompas, Jum’at 17 Februari 2006, HTML

[14]             Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, butir-butir Pemikiran Kritis, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1992, hal 29-30

[15]             Ibid, Hal 51

NATION AND CHARACTER BUILDING

NATION AND CHARACTER BUILDING

MELALUI PEMAHAMAN BUDAYA KEBANGSAAN

 

Banyak kalangan yang melihat perkembangan politik,  social, ekonomi dan budaya di Indonesia sudah sangat memperhatinkan. Bahkan,  kekuatiran itu menjadi semakin nyata ketika menjajah pada apa yang dialami oleh setiap warga Negara,  yakni memudarnya wawasan kebangsaan. Apa yang lebih menyedihkan lagi adalah bilamana kita kehilangan wawasan tentang makna hakekat bangsa dan kebangsaan yang akan mendorong terjadinya dis-orientasi dan perpecahan.

            Pandangan di atas sungguh wajar dan tidak mengada-ada,  Krisis yang dialami oleh Indonesia ini menjadi sangat multi dimensional yang saling mengait.  Krisis eknomi yang tidak kunjung henti berdampak pada krisis sosial dan politik , yang ada perkembangannya justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi.  Konflik horizontal dan vertical yang terjadi dalam kehidupan social merupakan salah satu akibat dari semua krisis yang terjadi, yang tentu akan melahirkan ancaman dis-integrasi bangsa. Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku,  budaya daerah ,  agama,  dan berbagai aspek politik lainnya,  serta kondisi geografis Negara kepulauan yang tersebar.  Semua ini mengundang potensi (latent social conflict)  yang dapat merugikan dan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.

            Dewasa ini,  dampak krisis multi-dimensional  ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal muculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence) dan rasa hormat diri (self-esteem) sebagai bangsa. Krisis kepercayaan sebagai bangsa dapat keraguan terhadap kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang terus-menerus dating, seolah-olah tidak ada habis-habisnya mendera Indonesia.  Aspirasi politik untuk merdeka di berbagai daerah,  misalnya, adalah salah satuh manifestasi wujud krisis kepercayaan diri sebagai satu bangsa, satu “nation”

            Apabila krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipetaruhkan. Maka,  sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan reevaluasi terhadap proses terbentuknya “nation and character building” kita selama ini, karena boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an.  Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno,  ”menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.”  Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa.”,  kenyataan saat ini hamper sepenuhnya terjadi.

            Disamping itu, timbul pertanyaan mengapa akhir-akhir ini wawasan kebangsaan menjadi banyak dipersoalkan.  Apabila kita coba mendalaminya,  menangkap berbagai ungkapan masyarakat, terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang mungkin ada hal yang menjadi keperhatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan telah menjadi dangkal atau teroris terutama di kalangan generasi muda seringkali disebut bahwa sifat materialistic mengubah idealisme yang merupakan jiwa kebangsaan.  Kedua,  ada kekuatiran ancaman disintegrasi kebangsaan, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai Negara, terutama yang amat mencekam adalah perpecahan di Yugoslavia,  di bekas Uni Soviet, dan juga di Negara-negara lainnya seperti di Afrika, dimana paham kebangsaan merosot menjadi paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga,  ada keprihatinan tentang adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup bangsa  ke dalam pola pikir yang asing untuk  bangsa ini, adat istiadat dan budaya etnik telah mulai termarginalkan karena perkembangan terhadap informasi begitu cepat perkembangannya.

Kontekstual Masa Kini

            Para founding fathers memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan tujuan umum adalah mengubah  system  feodalistik dan system kolonialis  menjadi system modern dan system demokrasi.2)  Kemerdekaan menurut Sukarno adalah  “jembatan emas “ menuju cita-cita demokrasi, sedangkan pembentukan  “nation and character building” dilakukan di dalam prosesnya.  Kalau pada suatu saat Sukarno menyatakan bahwa,  “revolusi belum selesai,” maka dalam konteks  “nation and character building” yang dikehendaki sebagai bangsa merdeka belum mencapai standar yang dibutuhkan.  Maka dalam hubungan “nation and character building” seperti yang diuraikan diatas, beberapa hal berikut terkandung di dalam gagasan awalnya:

  • Pertama, Kemandirian  (self-reliance), atau menurut  istilah  Presiden Soekarno adalah “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri). Dalam konteks actual saat ini, kemandirian diharapkan terwujud dalam percaya akan kemampuan manusia dan penyelenggaraan Republik Indonesia dalam mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya.
  • Kedua, Demokrasi (democracy), atau kedaulatan rakyat sebagai ganti system kolonialis. Masyarakat demokratis yang ingin dicapai adalah sebagai pengganti dari masyarakat warisan yang feodalistrik. Masyarakat dimana setiap anggota ikut serta dalam proses politik dan pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan kepentinganya untuk mencapai kesejateraan dan kemakmuran.
  • Ketiga, Persatuan Nasional (nation unity). Dalam konteks actual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi nasional antar berbagai kelompok yang pernah bertikai ataupun terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi selama ini.
  • Keempat, Martabat Internasional (bargaining positiosari  ).  Indonesia tidak perlu mengorbankan martabat dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk mendapatkan prestise, pengakauan dan wibawa di dunia international. Sikap menentang hegemoni suatu bangsa atas bangsa lainnya adalah sikap yang mendasari ide dasar “nation and character building” Bung  Karno menentang segala bentuk “penghisapan suatu bangsa terhadap bangsa lain,” serta menentang segalah bentuk “neokolonialisme” dan “neoimperalisme.” Indonesia harus berani mengatakan “tidak” terhadap tekanan-tekanan politik yang tidak sesuai dengan “kepentingan nasional” dan “rasa keadilan” sebagai bangsa merdeka.
  • Kelima : masyarakat yang terdiri kurang lebih 520, dan 6 agama dengan jumlah penduduk ratusan juta dan mendiami puluhan ribu pulau-pulau (besar dan kecil) yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Untuk memperkokoh Negara republic Indonesia, salah satu pilar utama dalah membudayakan, melestarikan, saling harga menghargai, hormat menghormati budaya tiap-tiap etnik/budaya tiap-tiap daerah diseluruh Nusantara.

WAWASAN KEBUDAYAAN YANG BELANDASAN BUDAYA SEBAGAI BAGIAN DARI CHARATER NATION BUILDING

            Setiap orang tentu memiliki rasa kebangsaan dan memiliki wawasan kebangsaan dalam perasaan atau pikiran, paling tidak di dalam hati nuraninya. Dalam realitas, rasa kebangsaan itu seperti sesuatu yang dapat di rasakan tetapi sulit dipahami. Namun ada getaran atau resonansi dan pikiran ketika rasa kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bias timbul dan terpendam secara berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing- masing, tetapi bias juga timbul dalam kelompok yang berpontensi dasyat luar biasa kekuatannya.

            Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa , yakni rasa yang lahir secara alami karena adanya kebersamaan social yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau, serta kebersamaan dalam menghadapi tantanggan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan , yaknipikiran-pikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbul semangat kebangsaan atau semangat patriotism.

            Wawasan kebangsaan mengandung pula tuntutan suatu bangsa untuk mewujudkan jati diri, serta mengembangkan perilaku sebagai bangsa yang menyakini nilai-nilai budayanya, yang lahir dan tumbuh sebagai penjelmaan kepribadiaannya. Rsa kebangsaan bukan monopoli suatu bangsa, tetapi ia merupakan perekat yang mempersatukan dan member dasar keberadaan (raison d’entre)bangsa-bangsa di duniah. Dengan demikian rasa kebangsaan  bukanlah sesuatu yang unik yang hanya  ada dalam diri bangsa kita karena hal yang sama juga dialami bangsa-bangsa lain.

            Bagaiamana pun konsep kebangsan ini dinamis adanya. Dalam kedinamisannya, antar-pandangan kebangsaan dari suatu bangsa dengan bangsa lain saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Denagan benturan budaya dan kemudian bermetamorgosa dalam campuran budaya dan sintesannya, maka derajat kebangsaan suatu bangsa menjadi dinamis dan tumbuh kuat dan kemudian terkristalisasi dalam kebangsaan.

            Paham kebangsaan berkembang dari waktu ke waktu, dan berbeda dalam suatu lingkungan masyarakat dengan lingkungan  lainnya.dalam sejarah bangsa-bangsa terlihat betapa banyak paham melandaskan diri pada kebangsaan. Ada pendekatan rasa tau etnik seperti Nasional sosialisme (Nazizme) di jerman, atas dasar agama seperti di pecahnya India dengan Pakistan, atas dasar ras dan agama seperti Israel-Yahudi, dan konsep Melayu-Isalam di Malaysia, atas dasar  ideologi atau atas geografi atau paham geogpolitik, seperti yang dikemukakan  Bung Karno pada Pidato 1 juni 19454

“Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat deta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat di tunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar; Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yakni Benua Asia dab Benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau jawa, Sumtra, Borneo, selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan. Terhadap peryataan itu, Bung Hatta tidak sepenuhnya sepenuhnya sependapat, terutama mengenai pendekatan geopolitik itu

“Teori geopolitik sangat menarik, tetapi kebenarannya sangat terbatas.Kalau diterapkan kepada Indonesia, maka Filipina harus dimasukkan ke daerah Indonesia dan Irian Barat dilepaskan; demikian juga seluruh Kaliamantan harus masuk Indonesia . Filipina tidak saja serangkai dengan kepulauan kita.”

Menurut Hatta memang sulit memperoleh kriteria yang tepat apa menentukan bangsa. Bangsa bukanlah didasarkan kesamaaan  asal, persamaan bahasa, dan persamaan agama. Menurut Hatta “bangsa ditentukan oleh sebuah keinsyafan sebagai suatu persatuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang  bertambah besar  oleh karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sma didapat, oleh karena jasa bersama, kesengsaraan bersama, pendeknya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dn otak,”6

Pengertian tentang rasa dan wawasan kebangsaan tersebut diatas sebenarnya merupakan pandangan generik yang menjelaskan bahwa rasa dan wawasan lahir dengan sendirinya di tenga ruang dan waktu seseorang dilahirkan. Tidak salah bila pandangan generik itu mengemukakan pentingya menumbuhkan semangat pejuangan, rasa kebanggaan atas bumi dan tanah air dimana seseorang dilahirkan dan sebagainya.

Wawasan kebangsaan merupakan jiwa, cita-cita, atau falsafah hidup yang tidak lahir dengan sendirinya. Ia sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik (sociallyand politicallyconstrukcted).7 Pidato Bung Karno atau perhatian Hatta mengenai wawasan kebangsaan adalah bagian penting dari konstruksi elit politik terhadap bangunan citra (image) bangsa Indonesia. Apa pun perbedaan pandangan elit tersebut, persepsi itu telah membentuk kerangka berfikir masyarakat tentang wawasan kebangsaan.

Mengadopsi pemikiran Talcott Parsons8 mengenai teori system, wawasan kebangsaan dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup yang berada pada tataran sub-sistem budaya. Dalam tataran ini wawassan kebangsaan dipandang sebagai  “way of life” atau kerangka/ peta pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi seseorang, dan pengalaman merupakan akumulasi dari proses tataran system lainnya, yakni sub-sistem sosial, sub-sistem ekonomi, dan sub-sistem politik.

Pada tataran sub-sistem social berlangsung suatu proses interaksi sosial yang menghasilkan kohesi sosial  yang kuat, hubungan antar individu, antar kelompok dalam masyarakat yang harmonis. Integrasi dalam system sosial yang terjadi akan mewarnai dan mempengaruhi bagaimana system budaya (Ideologi/falsafah/pandangan hidup) dapat bekerja dengan semestinya.

Sub-sistem ekonomi dan sub-sistem politik mempunyai  kaitan yang sangat erat. Ada yang mengatakan bahwa paham kebangsaan Indonesia tidak menempatkan bangsa kita di atas bangsa lain, tetapi menghargai harkat martabat kemanusiaan serta hak dan kewajiban manusia. Paham kebangsaan berakar pada asas kedaulatan yang berada di tengah rakyat. Oleh karena itu paham kebangsaan sesungguhnya adalah paham demokrasi yang memiliki cita-cita keadilan sosial, bersumber pada rasa keadilan dan menghendaki kesejateraan bagi seluruh rakyat.

Namun demikian sangat dipahami bahwa pembangunan ekonomi bukan semata-mata proses ekonomi, tetapi suatu penjelmaan dari proses perubahan politik dan sosial. Oleh karena itu keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi tidak dapat lepas dari keberhasilan pembangunan di bidang politik. Pada masa kini kita menyaksikan betapa pembangunan ekonomi hanya dapat terjadi secara bekelanjutan di atas landasan demokrasi. Betapa bangsa yang menganut system politik totaliter, dengan atau tanpa ideology, atau dilandasi oleh ideologi apapun, tidak bias mewujudkan kesejateraan dan tidak sanggup memelihara momentum kemajuan yang telah di capai. Sejarah membuktikkan keikutsetaan rakyat dalam pengambilan keputusan merupakan prasyaratan bagi peningkatan kesejateraan secara berkelanjutan.

Di sisi lain, ada pula yang mengatakan proses demokratisasi tidak akan berlangsung dengan sendirinya tanpa faktor-faktor  yang mengkodisikannya. Dalam hal ini tinggakt kesejateraan masyarakat secara menyeluruh akan menentukan kualitas demokrasi. Masyarakat yang belum terpenuhi kebutuhan hidupnya yang paling mendasar akan sulit dibayangkan dapat ikut mempengaruhi secara aktif proses perumusan kebijaksanaan pada tingkat mana pun, factor ekonomi sangat menentukan. Dengan demikian, tingkat partisipasi politik rakyat sangat erat kaitanya dengan tingkat kemajuan ekonomi, seperti juga jalan menuju pembangunan ekonomi adalah demokrasi.

Ekonomi yang kuat yang antara lain tercermin pada tingkat pendapatan per kapita dan tingkat pertumbuhan yang tinggi belum menjamin terwujudnya demokrasi yang sehat apabila struktur ekonomi pincang dan sumber-sumber daya hanya terakumulasi pada sebagian sangat kecil anggota masyarakat. Dengan demikian, upaya-upaya pemerata pembangunan yang sekarang diberikan perhatian khusus harus dipadang pula sebagai langakah strategis dalam rangka pengejawantahan dari wawsan kebangsaan.

Dapat dipahami bila wawasan kebangsaan hanya tumbuh dan dapat diwujudkan dengan energi yang diberikan oleh sub-system lainnya. Sub-sistem  politik akan memberikan energi kepada bekerjanya sub-sistem ekonomi, untuk kemudian memberikan energi bagi sub-sistem social dan pada akhirnya kepada sub-sistem budaya. Sebaliknyq, apabila  sub-sistem budaya telah bekerja dengan baik karena energi yang diberikan oleh sub-sistem lainnya, maka sub-sistem budaya ini akan berfungsi sebagai pengendali  (control) atau yang mengatur dan memelihara kestabilan bekerjanya sub-sistem social. Begitu seterusnya, sub-sistem social akan memberikan kontrol terhadap sub-sistem ekonomi, dan sub-sistem akan bekerja sebagai pengatur bekerjannya sub-sistem politik. (Sustrisno Yudo Husodo, Malang, 2010 Pertemuan Dasar-Dasar Pendidikan Kewarganegaraan)

 MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA

Ada beberapa pertanyaan kritis yang muncul beberapa tahun belakang : Akankah Indonesia tetap utuh? Bisakah sesungguhnya masyarakat Indonesia yang amat mejemuk ini hidup rukun ? dan tidakah segala dampak era reformasi hanya akan menceburkan negeri kita ke dalam pertikaian ideologis yang membangkitkan rasa permusuhan?

            Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi ) nasiaonal agaknya berangkat dari kondisi tanah air dewasa ini yang dapat dikatakn penuh konflik dan pertikaian. Gelombang reformasi yang berjalan lebih dari 5 tahun menimbulkan berbagai kecenderungan dan ralitas baru. Aliansi Ideologi dan politik bermunculan, yang di tandai dengan menjamurnya partai-partai politik. Sering dengan itu, lahir sejumlah tuntutan daerah luar jawa agar mendapatkan otonomi lebih luas atau merdeka sendiri. Lebih parah lagi manakalah hal itu diwarnai konfik dan benturan antaretris denga segala permaslahannya.

            Pada saat negri ini belum bias mengatasai krisis nasional yang masih berlangsung terutama krisis ekonomi  fonema politik dewasa ini benar-benar telah meningkatkan derajat kekahwatiran atas kukuhnya integrasi nasional kita. Kohon, jika sepintas menengok keluar, di ujung  fragmentasi Negara Uni Soviet  dan Yugoslavia pada akhir abad 20 lalu, kondisi ekonomi dan politik kedua negri itu pun juga buruk. Akibatnya pemerintah pusat goyah, dan Negara-negara “bagian” bagai mendapat momentum untuk mengembangkan pilihan politiknya masing-masing. Perang suadara di Yugoslavia dan separatism di Uni Soviet pun tidak bisa di hidari . Akhirnya, kedua federasi itu lenyap dari peta politik dunia. Tinggal masalahnya, Apakah Indonesia akan menjadi Uni Soviet dan Yugoslavia berikutnya.

AKAR-AKAR DSINTEGRASI

Sebuah Negara disebut  integrated jika wilayahnya utuh,  tidak ada pertikaian ideologis yang mendalam dan dan kehidupan sosialnya rukun dan harmonis. Uni Soviet dan Yugoslavia gagal mempertahankan keutuhan teritorialnya karena separatism. Di negeri kita dulu, Majapahit dan Mataram pun setelah melewati kejayaanya akhirnya runtuh karena menyusutkannya kekuatan pemerintah pusat dan tidak terbendungnya gerakan pemisahan diri.

Perbedaan Idelogis banyak memecah belah sebuah bangsa. Cina dan Taiwan, Korea Utara dan Korae Selatan, serta Jerman Barat dan Jerman Timur misalnya, adalah contih dari bangsa yang satu yang terpecah oleh perbedaan ideologi masa perang dingin. Di Asia pun dengan menunjuk Vietnam kita pernah menyaksikan disintegrasi, kemudian reintegrasi karena masalah ideologi dan  sistem politik.

Integrasi sosial acapkali juga menjadi barometer kuatnya integrasi nasional. Negara yang amat heterogen, seperti Indonesia , menghadapi tantangan besar dalam membangun persatuan, harmoni dan kerukunan hidup masyarakat. Konflik etnopolitis dan religiopolitis sering menyulut terjadinya insurjensi, bahkan perang saudara di beberapa negara. Yuoslavia kembali menjadi contoh yang tepat. Demikian pula yang kita ikuti bertahun-tahun di Irak pada zaman Saddham Hussein, Lebanon, Afganistan, Myanmar, serilangka, Filipina, Rwanda, Somalia, dan Banyak lagi, tidak lain hanyalah konflik yang berngkat dari factor etnis maupun agama.

Menyimak pengalaman dan potret negara – negara lain tersebut, Indonesia barangkali tidak perlu cemas. Amat berlebihan jika kita mengatakan Indonesia tengah bergerak kearah disintegrasi. Proses sejarah terbentuknya Indonesia berbeda jauh dengan proses terbentuknya Uni Soviet maupun yugoslavia, dengan ini kita bisa berharap bahwa masa depannya juga akan berbeda. Namun tuntu kita tidak boleh menyepelekan dan terlalu percaya diri bahwa bangsa ini tetap kompak dan bersatu. Bagaimanapun kita harus melakukan upaya nasional yang bersungguh-sungguh untuk mencegah disintegrasi di negara kita.

KESATUAN IDEOLOGI

Kita pernah mengalami suatu zaman dimana pertentangan ideologi terjadi begitu besarnya. Pada orde lama dulu, kaum kominis, nasional dan agama berbenturan satu sama lain, meskipun dalam sekala yang berbeda. Belajar dari pengalaman itu, pada masa Orde Baru, ideologi Pancasila sungguh ingin dibumikan untuk menafasi seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Implikasinya : Pancasila ditetapkan sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan organisasi kemasyarakatan dan politik. Idenya jelas dan sedrhana : jangan sampai bangsa ini terpecah belah karena faktor ideologi. Namun kemudian, seiring dengan tuntutan reformasi, persolan asas dan penunggalan ini mendapatkan titik perubahannya.

Era reformasi menyadarkan kita bahwa disati sisi Pancasila telah mempersatukan bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa, tetapi sakralisasi dan penggunaan berlebihan dari ideologi negara dan format politik Orde Baru juga membuahkan titik kritik dan proses terhadap ”sang pemersatu” itu. Munculnya pemikiran yang berkembang dimasyarakat tentang tidak perlunya Pancasila dicantumkan sebagai azas partai politik, meskipun tetap dipertahankan sebagai ideologi negara, barangkali berangkat dari kondisi masa lalu tersebut.

Nampaknya, di abad 21 ini tantangan terhadap idelogi negara juga bukan hanya faktor domestik, tetapi juga internasional. Gelombang demokrasi, hak asasi manusia, liberalisme, serta universalisme dan globalisme telah menembus dan memasuki cara pandang dan cara berpikir masyarakat Indonesia. Hal demikian bisa “meminggirkan” ideologi negara Pancasila ; dan sebaliknya bisa menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang dianggap sesuai dengan tantangan dan kebutuhan zaman.

Dalam hal demikian, bisa saja soal solidaritas global menggeser kesetiaan nasional. Itulah pentingnya untuk selalu mempertahankan sikap terbuka ideologi Pancasila dengan pemaknaan yang terus dikemas-kinikan, agar bangsa Indonesia dapat terus menerima Pancasila sebagai landasan dan pandangan hidup, sekaligus perekat bagi kehidupan politik kebangsaan.

Kedepan, jangan kita jauhkan nilai-nilai luhur Pancasila dari realitas kehidupan masyarakat. Mari kita jadikan Pancasila sebagai kendali moral dan etika; dan bukan alat justifikasi terhadap format kekuasaan dengan kepentingan politik. Kalau ini terujud, rakyat Indonesia akan mencintai ideologi negaranya dan menolak hadirnya ideologi lain yang justru diduga akan menimbulkan perpecahan.

MASALAH KEUTUHAN WILAYAH

Gerakan separatisme sering tidak berangkat dari idealisme untuk merdeka sendiri, bebas dari ikatan wilayah sebuah negara. Dorongan untuk separatisme sering akibat ketidak puasan yang mendalam terhadap bagaimana pemerintah pusat atau “sang pemayoritas” memperlekukan sebuah wilayah atau kelompok minoritas. Isu – isu sentral yang kerap muncul lazimnya berkisar pada hubungan pusat – daerah, masalah otonomi daerah, keadilan, keseimbangan pembangunan pemerataan dan hal – hal sejenisnya.

Jika terdengan protes keras dari Riau, Papua, Nangroe Aceh Darusalam, dan pada skala yang lebih kecil dari berbagai daerah yang lain, kita harus melihatnya secara jernih dan arif. Adalah benar bahawa pemerintan dan bangsa Indonesia tidak memberikan toleransi kepada salah satu wilayahnya untuk memisahkan diri. Kedaulatan dan kehormatan bangsa tentu harus pertaruhkan, dan segala harga harus kita bayar guna menghentikan kegiatan pemisahan diri ini. Saya kira, negara lainpun semisal Inggris, tidak akan pernah rela melepas Irlandia Utara. Malaysia tidak akan pernah menyetujui jika Sabah memilih berdiri sendiri. Amerika Serikat pun tentu akan menggunakan kekuatan militernya jika tiba – tiba Alaska dan Hawai igin melepas diri dari perserikatan.

Namun sudah saatnya kita mendengarkan secara lebih sungguh – sungguh keluhan, tuntutan, dan aspirasi saudara – saudara kita di Aceh, Papua, Riau, dan daerah – daerah lain itu. Marilah kita lihat potret pembangunan di wilayah itu. Marilah kita evaluasi kebijakan dan perlakuan terhadap masyarakat – masyarakat itu. Adakah telah benar – benar menghadirkan keadilan, keseimbangan dan ketetapan pengelolahan yang sebenar – benarnya.  Kalau jawabannya, ya, amat kecil kemungkinannya kita meronta dan berteriak, dan demikian sebaliknya.

Kedepan sudah saatnya paradigma, konsep, kebijakan dan perlakuan terhadap keseluruhan wilayah yang selama ini kurang kita “sentuh” dilakukan penataan ulang. Kita harus meuju otonomi daerah yang sejati, yang tidak saja memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi daerah untuk mengurus kehidupannya sendiri; akan tetapi, lebih mecerminkan keadilan dan kebangsaan sebuah negara kebangsaan yang amat majemuk.

MENUJU INTEGRASI NASIONAL

Kita pahami bersama, kemajemukan bangsa yang bercirikan banyak suku, agama, ras, daerah dan budaya di satu menunjukkan kekayaan dan kebesaran bangsa; akan tetapi, disisi lain menggamarkan kerawanan dan permasalahan. Itu sebabnya, para pendiri republik dahulu merumuskan semboyan Bhineka Tunggal Ika, untuk meningkatkan bahwa kita boleh berbeda tetapi tetap satu.

Berbagai peristiwa yang terjadi di tanah air mengharuskan kita melakukan perenungan dan pengkajian ulang atas konsep , model dan keijakan tentang kerukunan hidup masyarakat kita. Masih sering terjadinya konflik, benturan dan kekerasan antar suku, kelompok dan kepentingan menunjukkan bahwa rasa persaudaraan, harmoni,dan setia kawanan sosial memang belum terbentuk scara kukuh. Oleh karena itu, diabad 21 ini kita harus mencari Framework dan model yang tepat tentang bagaimana  kita dapat lebih mempererat tali persaudaraan dan persatuan antar etnis dan satu lainnya dimasyarakat Indonesia.

Bangsa indonesia harus secara cerdas mengenali akar dan penyebab terjadinya berbagai benturan sosial, terutama yang berbasiskan SARA. Sebuah telah menunjukkan, bahwa benturan antara warga negara keturunan dan warga negara asli tidak selalu karena perbedaan etnis itu sendiri, tetapi ternyata karena kecemburuan sosial yang tinggi dan dalam. Misalnya, warga negara keturunan China, oleh masyarakat luas di persepsikan sebagai orang kaya mendapatkan kemudahan, usah bersekala besar, hidup ekslusif, dan tidak eiliki kesetia kawanan yang tinggi. Persepsi ini nampaknya terus hidup, akibat benturan demi benturan tidak terhindarkan. Padahal pandangan tersebut belum tenu benar.

Model dan kebijakan integrasi sosial yag harus kita kembangkan dimasa depan pada akhirnya harus mampu meruntuhkan persepsi yang misleading dan rasa permusuhan yang tidak perlu. Kebijakan pemerintah harus menyentuh bidang ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan dan aspek kehidupan lainnya. Kebijakan yang dimaksud harus dinilai adil dan bersifat komprehensif, yang mampu memberdayakan dan meletakkan masyarakan sendiri sebagai subjek. Danyang lebih penting kebijakan itu juga memperpendek kesenjangan sosial ekonomi diantara mereka. Modal dan kebijakan inerasi sosial harus didasarkan pada upaya pemenuhan hak – hak dasar rakyat. Pengaturan yang otoritatif dan rekayasa yang berlebihan tidak akan bertahan lama, sehingga harus menuju kepembangunan nilai dan kelembagaan sosial yang lebih parlemen.

Sesungguhnya permasalahan integrasi sosial juga dihadapi oleh banyak Negara. Malaysia misalnya, juga pernah terguncang oleh kerusuhan antar etnis yang dasyat, tanggal 13 Mei 1969, dan hampir terulang kembali 19 tahun kemudian. Laihirlah New Economic Policy dan sejumlah kebijakan lain, termasuk dibentuknya lembaga yag bertugas membina integrasi sosial mereka. Jerman memiliki masalah dengan kaum imigran Turki. Demikian pula Amerika Serikat yang sistem dan nilainya jauh lebih mapan, masih belum bisa pula membebaskan diri dari permasalahan harmonisasi masyrakatnya, katakanlah antar kulit putih, kulit hitam, Hispanik, dan Asia.

MENCARI FRAMEWORK BARU

Membangun dan mempertahankan integrasi nasional adalah unfinished agenda, agenda yang belum rampung. Untuk melakukannya diperlukannya konsistensi, kesungguhan sekaligus kesabaran. Agar upaya pembinaan yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah ini efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat.

Framework yang hendak kita bangun dalam upaya memperkukuh integrasi nasional setidaknya menyangkut 5 faktor penting. Pertama, membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu. Perjalanan panjang bangsa indonesia untuk menyatukan dirinya, sebutlah mulai Kebangkitan Nasional 1908,  Proklamasi Kemerdekaan 1945, harus terus dihadirkan hakikat dan maknanya dalam hati sanubari dan alam pikiran bangsa indonesia.

Kedua, menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus. Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa musyawarah dan sesungguhny juga jiwa demokrasi. Bagi bangsa Indonesia yang amat majemuk, iklim dan budaya demikian amat diperlukan. Tentunya penghormatan dan pengakuan kepada mayoritas diperlukan, sebaliknya perlindungan terhadap minoritas tidak boleh pula diabaikan. Yang kita tuju adalah harmoni an hubungan simetris, bukan hegemoni oleh karena itu, premis yang mengatakan “The Minority has its sa, the majoroty has its way” harus kita pahami secara arif dan kontekstual. Dan jika kita sepakat bahwa demi keadilan sang mayoritas mendapat tempat dan peran yang tepat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa an bernegara, maka peran itu kiranya daoat diabaikan untuk memperkukuh persatuan, menabur keadilan,dan memajukan kehidupan kehidupan seluruh masyarakat.

Ketiga, membangun kelembagaan (pranata) yang berkarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. Menyuburkan integrasi  nasional tidak hanya dilakukan secara struktural tetapi juga kultural. Pranata ini kelak harus mampu membangun mekanisme peleraian konflik (conflic management) guna mencegah kecenderungan tindak – tindak represif dalam menyelesikan konflik.

Keempat, merumuskan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam segala aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah. Kebijakan otonomi daerah, desentralisasi, keseimbangan pusat-daerah, hubungan simetri mayoritas-minoritas, perlindungan kaum minoritas, pemberdayaan putra daerah, dan lain – lain pengaturan sejenisnya amat diperlukan. Disisi lain kita harus dapat merumuskan dengan jelas undang – undang dan perangkat regulasi lain agar gerakan seperatisme, perlawanan terhadap nilai – nilai demokratis Pancasila, dan kejahatan yang berbau SARA tidak berkembang dengan leluasa. Dan yang paling penting iregulasi itu harus secara konstiten dan konsekuen dilaksanakan dilapangan.

Kelima,  upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif. Setiap pimpinan di negeri ini baik formal maupun informal, harus memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi, serta upaya yang sungguh – sunguh untuk terus membina dan memantakan integrasi nasional kita. Kesalahan yang lazim adalah : kita kerap bicara tentang kondisi objekif dan kurang kukuhnya integrasi nasional di negeri ini lalu setelah itu “bermimpi” tentang kondisi yang kita tuju  (end state), tetapi kita kurang tertarik untuk membicarakan protes dab kerja keran yang harus kita lakukan. Kepemimpinanyang efektif disemua ini akhirnya merupakan faktor penentu yang bisa menciptkan iklim dan langkah bersama untuk mengkukukan integrasi nasional ini.

Jalan kearah kokohnya integrasi nasipnal agaknya cukup panjang, dengan segala tantangan dan permasalahannya.  Tantangan itu bukan hanya berasal dari dalam negeri (karena masih banyakknya benih – benih konflik dilingkungan masyarakat), tetapi juga dari luar negeri (yang karena dampak globalisasi dapat emunculkan konflik kepentingan). Oleh karena itu, di abad 21 ini, terlebih pada saat negeri ini sedang berjuan lepas dari kemelut ermasalahan nasional yang cukup serius, kita harus menumbuh-kuatkan kembali komitmen dan kehendak yang kuat untuk bersatu, serta menata langkah – langkah bersama untuk memperkuku integrasi nasional yang amat diperlukan.* (Susilo Bambang Yudoyono, 2010 Sekretariat Instana Kepresidean).

Sumber : Buku Pegangan MKU Universitas Jember tahun 2010 BAB III

keep pray

keep learn

Have Fun ^^