Fanatisme

Pernah suatu hari aku pinjam DVD concert L’arc~en~ciel dari teman dan lihat dirumah, lalu mbak ku kebetulan lewat dan bilang “Apa seh iki, ngerti ta artinya…?”, aku jawab kalau aku memang gak bisa bahasa jepang (hanya tahu beberapa kosa kata, mungkin level 1 atau 2), dia bilang “Lha, gak ngerti kok seneng?”, iya sih ndak ada yang salah dari pertanyaan semacam ini, karena dulu aku lihat jejepangan seperti anime di TV yang udah terjemahan dan lagunya pun beberapa sudah bentuk bahasa Indonesia. Sekarang anime dan lagu yang aku punya pakai bahasa aslinya dengan subtitle Indonesia / Inggris. Aku suka lihat anime dari SD dan lagu jepang dari SMP. Kenapa mbakku bisa mengajukan pertanyaan seperti itu? yah sederhananya dia tidak mengerti apa yang aku tahu, apa yang aku rasakan ketika melihat anime dan mendengar lagu jepang tersebut. Oke aku tidak seekstrim itu, aku lihat anime dalam scope yang cukup, tidak berlebihan, dalam setahun mungkin hanya lihat 10 – 20 judul anime saja, setiap judul sekitar 12 atau 24 episode, setiap episode hanya 23 menitan, satu judul kalau marathon sudah habis 3 – 4 jam, jadi total yang aku habiskan hanya 20 x 4 jam = 80 jam atau sekitar 2 minggu kalau marathon.

Menariknya aku pernah mengajukan pertanyaan yang sama kepada teman satu angkatan di kampus beberapa tahun yang lalu. Kebetulan dia suka banget sama drama korea, TV show, lagu korea, dan lain sebagainya yang berbau korea. “Kamu suka lagunya ini, tahu artinya? bisa bahasa korea?”, dia jawab sederhana, “ndak, kan ada terjemahannya”. Sebenarnya itu bukan jawaban yang aku harapkan tapi okelah dia tidak peduli, yang penting dia suka tidak peduli aku atau orang lain mengerti apa yang dia suka atau tidak. Pernah juga seorang mantan dosen pemrograman di kampusku bercerita ke dosen yang lain, aku memang tidak sengaja dengar karena duduk dekat mereka, “Aku gak ngerti ini apanya yang bagus, anakku nonton Running Man, ketawa – ketawa sendiri, pas tak lihat apanya yang lucu….ndak ada, heran”. Dalam hati aku senyum – senyum sendiri juga denger ceritanya. Lagi, fenomena idol group dan girl band, temanku di kostan habisin uangnya lihat konser JKT48 dimana – mana, milih jenis tiket paling mahal yang ada acara dinner with member, iya yang ini juga aku tidak mengerti kenapa dia melakukan itu, seperti dosenku tadi yang tidak mengerti saat melihat kelakuan anaknya, seperti mbakku yang juga tidak mengerti melihat kelakuanku sendiri.

Fanatisme, judul yang agak berat dibanding cerita tadi, tapi sebenarnya fanatisme ini dibentuk dari hal – hal kecil seperti ini, istilah ini sebenarnya tidak radikal, bukan hanya hal yang berkaitan dengan SARA karena terkadang kita tidak sadar sebenarnya kita juga sudah masuk di dalamnya. Terkadang fanatisme dapat mengganggu kehidupan sosial. Kita bisa lihat perselisihan antar pemeluk keyakinan karena fanatisme. Perang di dunia maya seperti tweet war dan dunia nyata seperti tawuran karena fanatisme berlebihan terhadap sesuatu. Orang – orang yang fanatik memang cenderung ‘keras kepala’. Mereka akan membela mati-matian apa yang mereka puja dan mereka sembah, tanpa memberi kesempatan dan celah sedikitpun pada kritik dan opini orang lain.

Coba saja berikan kritik kepada Idol group agar bernyayi live tanpa lipsync karena mereka memang disuruh nyanyi. Suruh penonton Running Man lihat berita aja biar tahu tentang dunia yang luas. Suruh orang yang lihat anime belajar bahasa jepang saja biar manfaat. Seperti programmer OO Java diminta pindah ke low level bahasa Assembly maka ya kritik itu biasanya akan balik ke kita. Pernah aku sedikit menekan para penyuka drama korea di kampus dengan kata – kata seperti ini “drama korea ini mesti ceritanya gitu, genre apapun selalu ada romance-nya, karakternya seringnya ceweknya hyperactive, cowoknya ngerasa keheranan sama tingkah ceweknya atau juga bisa sebaliknya, ya hubungan yang dimulai dari sikap tsundere salah satu karakter”, atau ketika aku berkomentar tentang K-pop seperti “wajah dan style orang korea ini mirip, musiknya K-pop juga pola konten di video clipnya gitu – gitu aja, dance, kesan glamoure, dan musik pake software digital dengan beat tempo tinggi” mereka jelas tidak terima dan menunjukkan argumen yang defensif seperti “ya ndak, banyak genre drama korea kayak action yang dikit romance nya”.

Aku bukan kehabisan kata untuk mengkritik sesutu yang aku tidak mengerti, atau tidak mau menghadapi mereka satu persatu. Tapi waktu ini terlalu berharga untuk digunakan membela diri dari orang-orang yang hanya ingin mempertahankan pendapatnya sendiri, tidak ada habisnya, tidak ada gunanya. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.

Tunggu, itu tadi juga berlaku kepada diriku sendiri, seperti pertanyaan mbakku tentang kenapa aku suka lagu jepang padahal tidak bisa bahasa jepang. Cukup panjang dan lebar jika aku jelaskan dan sama seperti aku yang tidak mengerti tentang orang lain, maka menurut mbakku alasanku tidak akan rasional dan mendengarkan alasanku juga akan membuang – buang waktunya. Biarlah aku menyimpan sendiri pendapataku terhadap orang lain dan menerima pertanyaan yang mereka tidak mengerti kenapa. Karena kita memang fanatik terhadap sesuatu yang orang lain tidak bisa melihat dimana kesenangan itu muncul. Aku tak perlu memaksakan mereka untuk mengikuti cara berpikirku. Jadi mereka juga tak bisa memaksaku untuk mengikuti cara berpikir mereka.

Sebagai catatan aku lihat anime, drama korea, denger lagu jepang, korea, tidak benci juga terhadap idol group, hanya saja aku mengkonsumsi itu semua dalam porsi yang berbeda. Tulisan diatas bukan bermaksud menyudutkan salah – satu kelompok penyuka salah satu bagian saja. Terima kasih

Fanaticism comes from any form of chosen blindness accompanying the pursuit of a single dogma.

– John Berger

Satu pemikiran pada “Fanatisme

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s