Dalam hidup ini aku membagi jalan hidup seseorang yang berkaitan dengan usaha menjadi 4 golongan. Pertama adalah orang yang pintar dan pekerja keras, kedua pintar yang malas, ketiga bodoh tapi pekerja keras dan keempat bodoh sekaligus malas. Masing – masing orang yang pintar atau bodoh dan pekerja keras atau malas jika aku bagi lagi berdasarkan kesuksesannya juga akan menjadi 4 golongan, yaitu berusaha dan kemudian berhasil (berbanding lurus positif), berusaha dan gagal (berbanding terbalik positif), malas dan berhasil (berbanding terbalik negatif), terakhir malas dan gagal (berbanding lurus negatif).
Yah itu adalah hidup, bahkan terkadang kerja keras dan kepintaran seseorang tidak mampu menjawab apa arti kesuksesan dalam hidup ini.
Kemudian apa karena kita telah tahu hal seperti itu maka kita berhenti berusaha? berhenti belajar untuk menjadi orang yang berpengetahuan tinggi? Tentu saja tidak, memang banyak hal yang lebih penting dari menjadi pintar atau berusaha keras. Semua usaha diikuti doa, membangun relasi, kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, semangat pantang menyerah dan lain sebagainya dimana seseorang akan mendefinisikan banyak sekali kunci kesuksesan dalam hidup ini.
Sekarang cerita tentang aku, tentang pencapaian akademikku dari SD hingga kuliah. Ini bukan cerita inspirasi, ini hanyalah cerita yang ketika kalian membacanya kemudian sebagian besar dari kalian akan berpikir “oh iya, aku juga sering”, “mirip banget dikampusku”, dan respon standar lainnya.
Aku tidak pintar, apalagi superior
Aku adalah pelajar yang biasa – biasa aja, dari SD sampai SMA (aku masuk SMK) tidak pernah mendapat rangking 1, berbeda sekali dengan mbak ku, dia anak pertama dan yah dia pintar masuk di SMP favorit dan SMA favorit, selalu rangking 1 dan kuliah mendapat banyak beasiswa. Ranking paling tinggi yang pernah aku dapat adalah rangking 3, (tunggu, itu kan udah besar), tapi itu juga terjadi sekali dan tiba – tiba, aku juga gak ngerti, karena seringnya hanya antara peringkat 8 – 15 dari 30an siswa. Aku akan bilang bahwa aku tidak bodoh, tapi aku juga tidak pintar. Kemudian saat kuliah juga hampir sama, tetapi sedikit lebih baik, jangankan diberi penghargaan untuk prestasi tertentu, lulus aja telat 2 tahun.
Tapi didikan orang tuaku adalah selalu disiplin dan bertanggung jawab, walaupun masalah kelulusan waktu kuliah sering dibanding – bandingkan dengan mbak tapi setidaknya bertanggung jawab atas apa yang kita kerjakan paling penting. Ketika sekolah aku tetap rajin masuk, datang tepat waktu, berusaha mengerjakan tugas dan bisa lulus. Ketika kuliah aku gak kepikiran untuk membuat IPK cum laud dan sempurna, untuk mata kuliah yang tidak suka dan dapat C juga tak biarkan, lagipula nilai lainnya juga sudah jauh mencukupi dan akhirnya cum laud dengan sendirinya, tanpa bermaksud menyinggung teman – teman yang punya IPK rendah bahkan NASAKOM, tapi aku memang punya standar sendiri, bukan bermaksud rendah diri atau rendah hati bahkan sombong, maaf bukan. Kalau aku disuruh mendefinisikan tipe mahasiswa yang seperti apa, aku akan menjawab mahasiswa santai tapi serius, apa buktinya aku santai? iya aku tidak pernah agresif bertanya di kelas, duduk belakang dan tidak banyak ikut organisasi di kampus. Apa buktinya aku serius? aku selalu mengerjakan tugas yang diberikan, memaksimalkan project di mata kuliah yang aku bisa dan tidak membuat banyak masalah dikampus. See, aku bukan mahasiswa yang penuh ambisi dan ber api – api dalam hal akademis dan organisasi, tapi seperti yang diajarkan orang tuaku, masih berusaha bertanggung jawab dan disiplin. Aku mahasiswa yang santai tapi serius, dan keseriusanku memberikan hasil akhir yang baik juga saat kuliah.
Menjadi egois dan mengandalkan diri sendiri
Menjadi mahasiswa, kata maha dan siswa, apakah siswa yang super? iya menjadi super egois dan bodoh. Kadang lucu dan aneh melihat perilaku kita sendiri atau orang – orang disekitar kita. Katakanlah secara umum di semua kampus memiliki mahasiswa yang rajin dan malas, suka nyatat dan suka fotocopy catatan pas ujian, pintar dan kurang pintar, maka sering terjadi kondisi seperti ini:
…Pre Exam
Angga : “Aku nyalin catetanmu yah..?”
Si Jenius : “Aduh, tulisanku gak lengkap…”
“Padahal catatannya lengkap, dan udah difotocopy sama anak – anak yang lain”.
Itu sebelum ujian, nah pas ujian biasanya anak ini tiba – tiba jadi budeg. Walaupun aku coba berusaha ngerjain sendiri pas ujian tapi dari melihat responnya temen – temen yang lain pas minta contekan waktu mulai ujian juga jadinya gini:
…Exam
Angga : “Wes sinau (belajar) ?”
Si Jenius : “Aku gak sinau blas… (Gak belajar sama sekali)”
“Padahal udah belajar semalaman..(biasanya cewek)”
Tapi ketika aku yang ditanya kemudian aku jawab “aku ya gak belajar, baca – baca file presentasi tadi pagi aja” (demi Allah emang itu yang tak lakuin), tapi mereka akan bilang “Alah awmu gak sinau ya pasti iso (Ah kamu tidak belajar ya pasti bisa)”, kalau aku bilang “iya aku belajar tadi malam”, mereka akan bilang “Yaelah awamu gak usah sinau yo iso atek sinau barang (Kamu tidak belajar wes bisa ngapain belajar lagi)”, serba salah jadi anak santai tapi serius.
…Pasca Exam
Angga : “Gimana tadi, bisa?”
Si Jenius : “Aduh, gak iso blas (Aduh, gak bisa sama sekali), mati.. gak bisa… gak bisa…”
“Tiba – tiba keluar nilai A”
…
Itu ceritaku tentang menjadi pintar dan orang disekitarku dan mungkin cerita yang sama disekitar kalian, sekarang bagaimana dalam hidup ini? untuk menjadi sekedar pintar. Ada orang yang pintar dan tidak, ada yang sukses dengan kepintarannya, tapi ada juga yang tidak, berbagai macam fenomena hidup yang susah dicerna kepalaku. Jika misal suatu saat aku memiliki keluarga sendiri, memiliki anak kemudian dia mewarisi semua kekuranganku daripada kecerdasanku, apakah Ia nanti akan menjadi orang yang gagal? tapi apakah kegagalan itu? apa kesuksesan itu? apa sukses itu artinya bekerja dengan revenue 100juta perbulan? tidak juga, tapi tetap aku ingin untuk diriku dan anak – anakku kelak memiliki sesuatu yang lebih penting dari sekedar pintar di atas kertas. Tidak apa tak dianggap pintar, tak apa tak memilik IPK cum laude, tak apa tidak pernah berprestasi dalam akademik, tapi tetap memiliki pengetahuan yang kaya dan berkembang, bermanfaat, diikuti dengan perilaku yang baik dan mampu menerima kekurangannya.
Tapi menjadi cerdas tentu saja penting, didunia profesi nanti setidaknya itu yang dipertaruhkan dan diadu dengan yang lain sebagai kapabilitasmu dalam bekerja, kreativitas dan ide digunakan, hanya itu? tidak, bahkan saat ini pekerjaan didapatkan dari penawaran orang yang dikenal, link yang luas dan pergaulan yang tak terbatas. Menjadi pintar dan diikuti attitude yang baik menjadi penting. Lihat orang disekitar, bahkan mereka yang tidak lebih pintar darimu dalam segi akademis, yang tidak pernah dipanggil ke depan untuk mendapat penghargaan mampu memiliki kehidupan yang lebih baik dan bahagia. Bahkan sekedar menjadi pintar bisa membuat kita lupa, lupa arti kerja keras dan lengah karena merasa semuanya hal yang pernah dihadapi terasa mudah, jarang merasakan gagal dan bangkit dari rasa putus asa. Menjadi pintar terkadang susah menerima perbedaan dan merasa semua hal berjalan lebih lambat dan sifat egois pun muncul. Seperti padi maka semakin Ia berisi akan semakin merunduk, aku juga baru sadar betapa brilian orang yang menciptakan pepatah itu.
Dunia butuh orang cerdas untuk merubah peradaban menjadi lebih baik, tapi dunia juga butuh lebih banyak orang baik untuk membuat hidup ini lebih berarti. Menjadi lebih dari sekedar cerdas, iya aku juga berusaha….
Your living is determined not so much by what life brings to you as by the attitude you bring to life; not so much by what happens to you as by the way your mind looks at what happens.
– Khalil Gibran
Satu pemikiran pada “Lebih dari menjadi cerdas”